..ANDA ADALAH ORANG YANG PEDULI TERHADAP NASIB BURUH MIGRAN INDONESIA..KARENA TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI...TERIMAKASIH...

Selasa, 27 April 2010

***MENYAMBUT MAY DAY*** Dengan Memahami Undang-undang No 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan perkembangannya.

Oleh Komite .
Pendidikan IMWU

Apa itu Undang-Undang?

Didalam kehidupan setiap masyarakat tentu kita mengenal apa yang disebut sebagai peraturan, baik itu peraturan tertulis (undang-undang) maupun peraturan tak tertulis (etiket). Tentu saja setiap orang di setiap negara sadar akan adanya peraturan, bahkan didalam bentuk masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga ada peraturan. Begitu pula didalam kehidupan bernegara ada yang dinamakan Undang-undang, peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bernegara dan warga negaranya, di Indonesia kita mengenalnya dengan nama UUD 1945. Pembuatan undang-undang bertujuan untuk mengatur hubungan dan tata cara dari suatu hal atau persoalan. UUD 1945 adalah sebuah peraturan tertinggi dan umum, yang mengatur kehidupan rakyat dan negara Indonesia. Dikatakan umum karena UUD 1945 mengatur persoalan hubungan-hubungan dan tatacara perihal rakyat dan penyelenggaraan negara secara umum. Kita tentu juga pernah mendengar tentang ada yang namannya UU perburuhan, UU pertanahan, UU pendidikan, UU peradilan, dsb, UU ini adalah peraturan umum yang mengatur hubungan dan tata cara mengenai hal-hal tertentu .

Dalam dunia migrasi Indonesia, persoalan hubungan dan tatacara buruh migran dan penyelenggaraannya diatur dalam sebuah peraturan yang disebut sebagai Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Singkatnya penyelenggaraan proses penempatan dan pemulangan BMI diatur dalam UU ini.

Perihal Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri

Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dibuat semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dimana sejak dia berkuasa kebijakan swastanisasi (pengalihan kepemilikan dari milik negara menjadi milik pribadi)-yang merupakan resep dari lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank dunia- terjadi diberbagai sektor dilakukan sebagai kebijakan ekonomi utamanya, termasuk sektor atau industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang kebanyakan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Searah dengan kebijakan utama ekonomi Indonesia di rejim Megawati, pembuatan UU No 39/2004 tentang PPTKILN, tentusaja merupakan bagian dari proses peng-komoditas-an manusia sebagai bentuk swastanisasi dalam bidang tenaga kerja atau pengadaan buruh murah bagi kepentingan pengusaha. Jadi aspek pokok yang didahulukan adalah kepentingan pihak swasta (PJTKI) bukan perlindungan BMI.

Sejak awal Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih tepat disebut sebagai UU mengenai penempatan TKI di luar negeri, karena hakekatnya tidak pernah bertolak dari motif sejati untuk melindungi BMI. Pasalnya, ditelaah dari latar belakang pembuatan dan semangatnya hanyalah mengabdi pada kepentingan PJTKI dimana PJKTI yang diamanatkan melalui UU ini sebagai pelaksana penempatan BMI ditempatkan dalam posisi yang sangat strategis dan diberikan kewenangan yang besar dan luas. Hal ini terbaca dengan sangat jelas didalam pasal-pasal yang menekankan peranan PJTKI mulai dari pra pemberangkatan, pemberangkatan, saat bekerja di negara tujuan sampai kepulangan. Sebagai salah satu contoh betapa PJTKI sangat berkuasa adalah:

Pasal 4
“Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja diluar negeri”

Pasal 10 point B
“Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: b) Pelaksana penempatan TKI swasta.

Berdasarkan pasal ini, mitra pemerintah adalah PJTKI/agency, artinya semua pengiriman keluar negeri harus lewat PJTKI. Tanpa jalur ini, BMI dianggap ilegal. Sementara bukan cuma pengiriman, bahkan penempatan sampai pemulangan dianggap tanggung jawab PJTKI/agency. Dari sinilah berbagai persoalan muncul misalnya ganti nama, usia, alamat, dsb, penahanan dokumen, pemaksaan tanda tangan sebelum terbang dan penyerahan harta benda calon BMI ke PJTKI sebagai jaminan. Pasal ini jugalah yang memberikan dasar hukum bagi PJTKI (sebagai mitra pemerintah) dan pemerintah dalam pembuatan kebijakan mengenai biaya agen atau biaya penempatan BMI yang sangat tinggi, tanpa melibatkan BMI.

Sementara kita ketahui bersama, bahwa 3, 5 juta lebih rakyat Indonesia yang bekerja keluar negeri, bekerja dalam kondisi yang nyaris sama dengan perbudakan. Mulai Malaysia sampai Timur Tengah, mayoritas BMI dingkari hak-hak demokratisnya, diingkari hak asasinya sebagai manusia, tidak diakui kerja nya. Perlindungan dari pemerintah sangat minim, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada ada. Berikut adalah gambaran umum tentang masalah yang dihadapi oleh BMI:

Secara nyata persoalan BMI sebagai buruh dapat kita temui sebagai berikut:
1. Upah, tunjangan, pesangon yang rendah, bahkan tidak dibayar;
2. Tidak adanya hari libur;
3. Jam kerja yang panjang;
4. Tidak adanya kebebasan berserikat bagi BMI;
5. Hukum yang tidak memihak BMI;

Secara nyata persoalan BMI yang muncul dalam proses migrasi sebagai berikut:
1. Biaya penempatan (agen) yang tinggi, baik yang dibayar dimuka atau melalui pemotongan upah;
2. Pungutan liar;
3. Penahanan dokumen perjalanan dan kerja BMI;
4. Sistem penempatan yang tidak demokratis.
5. Penyiksaan, diskriminasi dan pelecehan terhadap BMI.

Mayoritas BMI adalah perempuan, artinya masalah buruh migran Indonesia juga merupakan masalah kaum perempuan. Masih berakarnya budaya patriarki (budaya yang menempatkan posisi laki-laki diatas perempuan) yang berasal dari sistem feodalisme. Pola pikir feodal, telah menempatkan kaum perempuan dalam urusan domestik (rumah tangga) seperti perempuan harus bekerja di dapur, sumur dan kasur. Inilah sesat pikir yang masih menghinggapi masyarakat Indonesia umumnya akibat dominasi feodalisme di dalam negeri. Inilah yang menjadi dasar mengapa kaum perempuan sangat berkepentingan untuk mengakhiri sistem feodalisme.

Secara nyata persoalan BMI sebagai perempuan sebagai berikut:
1. Ketidakadilan gender;
2. Tidak ada kesetaraan terhadap perempuan didalam masyarakat;
3. Pembodohan kaum perempuan;
4. Diskriminasi terhadap kaum perempuan didalam masyarakat.

Dihadapkan kepada kenyataan seperti ini, UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN tidak dapat memecahkan persolan BMI, bahkan dari segi migrasinya saja UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN tidak mengatur mengenai perlindungan terhadap BMI dalam proses penempatan, yang diatur justru perihal proses penempatan, dimana PJTKI sebagai mitra pemerintah dan sebagai pelaksana penempatan diberikan kewenangan yang sangat besar. Sementara minimnya peran pemerintah dalam penempatan adalah bukti bahwa pemerintah mau terima bersih penghasilan dari penempatan BMI.

Dengan demikian adanya sebuah UU yang dapat dipakai untuk melindungi BMI adalah sebuah kebutuhan BMI yang mendesak dan perlu.

Amandemen (perubahan) terhadap UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN

Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) akan diamandemen (dirubah/revisi) agar dapat memenuhi target pendapatan negara (devisa) sebesar 152 triliyun rupiah per tahun, dengan cara mengirimkan rakyat Indonesia sebanyak 1-2 juta orang per tahunnya keluar negeri sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI). Dalam wawancaranya dalam salah satu media massa, Bisnis Indonesia, Rabu, 08 Oktober 2008,, Ketua Umum APJATI, Nurfaizi mengatakan

”Kami jamin dengan revisi UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, penempatan TKI bisa mencapai 1-2 juta orang. Apjati juga menjamin penempatan TKI yang murah, mudah, aman, dan lancar secara legal dan berkualitas," ungkapnya.

Terang sudah berdasarkan perkataannya ketua APJATI, bahwa langkah amandemen ini bukanlah demi perlindungan BMI namun guna memaksimal keuntungan yang diperoleh dari pengiriman rakyat Indonesia ke luara negeri sebagai buruh migran. Faktanya adalah uang yang masuk dari sektor ini demikian besar, bahkan menjadi sumber pendapatan negara terbesar setelah minyak dan gas. Namun faktanya uang tersebut yang seharusnya dipakai untuk mensejahterakan rakyat, termasuk BMI. Dipakai untuk membayar hutang luar negeri, dimana separuh dari hutang luar negeri tersebut adalah hutang pihak swasta atau pengusaha. Artinya hasil kerja BMI selama ini dipakai untuk memebeayar hutanya para pengusaha, karena pengusaha tidak bisnisnya bangkrut, atau kalah dalam persaingan diantara sesamanya. Sementara pengusaha bisa mendapatkan hutang luar negeri, jika pemerintah bersedia menjadi pihak yang menjamin pembayaran hutang tersebut. Dan kala hutang swasta tersebut tidak terbayar maka pemerintah sebagai pihak penjamin harus melunasi hutang pihak swasta tersebut, inilah faktanya.

Amandemen terhadap UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN adalah titah kaum pemilik modal asing!

Lebih terang, rencana amandemen merupakan pesanan dari lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, WTO serta negeri-negeri imperialis dibawah pimpinan AS, yang tertuang dalam Inpres No 3 Tahun 2006 Tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, dimana salah satu isi kebijakan ini adalah mengubah UU no 39 tahun 2004 tentang PPTKILN, guna memenuhi kebutuhan buruh murah bagi negeri-negeri “majikan”, dengan menghilangkan beberapa persyaratan guna mempermudah dan mempercepat proses penempatan BMI di luar negeri. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi dunia yang pada hari ini dihantam krisis, atau lebih tepatnya negeri-negeri imperialis dibawah pimpinan AS yang saat ini sedang meregang nyawa untuk keluar dari krisis dan bagi mereka buruh murah adalah jalan keluar untuk melipatgandakan keuntungan untuk bertahan di tsunami krisis hari ini, dan SBY-JK sebagai pemerintahan kaki tangan imperialis (komprador) memastikan terpenuhi kebutuhan tuan imperialisnya dengan menerbitkan Inpres no 3 tahun 2006 tentang paket kebijakan perbaikan iklim investasi. Seperti kita sudah ketahui bersama bahwa Inpres No 3 Tahun 2006 Tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, adalah sebuah kumpulan kebijakan guna menarik para pemilik modal asing untuk berbisnis di Indonesia. Disamping sebagai persyaratan bagi rejim SBY-JK untuk terus mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, WTO serta negeri-negeri imperialis dibawah pimpinan AS. Terang sudah bahwa sejak awal inisiatif pemerintah yang disambut hangat oleh APJATI ini merupakan persekongkolan busuk demi keuntungan pengusaha bukan rakyat, apalagi buruh migran Indonesia.

Kebijakan pengiriman rakyat Indonesia keluar negeri adalah bentuk ketidakmampuan dan kebuntuan pemerintah yang gagal menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyat di dalam negeri. Disamping kondisi negeri-negeri imperialis dibawah pimpinan AS saat ini sangat membutuhkan buruh murah untuk bertahan didalam tsunami krisis over produksi akibat ulahnya sendiri. Selama ini pemerintah menjadikan buruh migran Indonesia sebagai barang dagangan penghasil devisa negara, bukan sebagai manusia. Hal demikian terjadi karena, sejak awal tugas pemerintahan kaki tangan imperialis SBY-JK adalah untuk memenuhi kebutuhan para imperialis, bukan rakyatnya. Inpers no 3 tahun 2006 tentang perbaikan iklim investasi dimana salah satu poinya adalah amandemen UU no 39 tahun 2004 tentang PPTKILN adalah bukti yang tidak terbantahkan serta semakin memperkuat bahwa Indonesia adalah negeri setengah jajahan dimana pemerintahannya mengabdi kepada tuan penjajah bukan kepada rakyat.

Apakah amandemen terhadap UU no 39/2004 tentang PPTKILN dapat memecahkan masalah BMI?

Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa UU no 39/2004 tentang PPTKILN yang menjadi dasar hukum perihal penempatan dan perlindungan BMI, pada kenyataannya bukanlah alat yang dapat digunakan untuk melindungi BMI. Beberapa pasal penting perihal penempatan BMI ke luar negeri memberikan kuasa kepada PJTKI dalam pengiriman BMI, inilah yang menyebabkan mengapa biaya penempatan BMI menjadi sangat tinggi. Sementara itu pembuatan kebijakan tentang BMI termasuk UU no 39/2004 tidak pernah melibatkan organisasi BMI, dengan demikian seperti kenyataannya kepentingan BMI tidak diakomodir didalam UU ini. Namun apakah usaha amendemen pasal per pasal ini dapat membuat UU no 39/2004 memberikan perlindungan terhadap BMI? Tidak!.Permasalahannya adalah sampai hari ini pemerintah tidak mempunyai kerangka dasar yang jelas dalam pembuatan kebijakan mengenai BMI dan migrasi. Pemerintah sudah menandatangani Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya, namun tindakan melakukan ratifikasi yang mewajibkan pemerintah untuk membuat UU yang mengacu kepada isi konvensi sampai hari ini tidak dilakukan. Tanpa langkah ratifikasi konvensi PBB ini dan pelibatan serikat BMI maka kebijakan apapun yang dibuat, selamanya tidak akan dapat dipakai untuk memberikan perlindungan bagi BMI. Ratifikasi konvensi inilah yang kiranya sedikit banyak dapat melindungi hak-hak demokratis dari buruh migran Indonesia dari keserakahan dan berbagai macam macam pelanggaran yang seringkali dilakukan oleh para majikan, PJTKI/Agen, dan pemerintah Indonesia.

Dengan demikian, terang sudah bahwa posisi dan sikap BMI terhadap UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN yaitu:

1. Cabut UU No 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILIN karena anti-BMI dan hanya mengutamakan kepentingan PJTKI;

2. Segera meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya;

3. Ganti UU No 39 tahun 2004 Tentang PPTKILN dengan UU perlindungan BMI dan keluarganya yang mengacu kepada Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya;

4. Melibatkan organisasi buruh migran Indonesia dalam pembuatan kebijakan tentang buruh migran, guna menjamin terwakilinya kepentingan BMI dalam setiap kebijakan pemerintah.

BY : IMWU

Kamis, 29 Oktober 2009

SBY: Usut Kematian TKW!




DEMO: Kantor Kedubes Malaysia di Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan didemo puluhan buruh yang tergabung Jaringan Kerja Layak Buruh Migran, Rabu (28/10). Mereka menuntut pemerintah Malaysia untuk bertanggungjawab atas kematian TKW Munti binti Bani yang tewas disiksa majikannya di Malaysia.

“Kita berharap ada keadilan yang ditegakkan. Kita sangat prihatin dengan kejadian itu.”
DINO PATTI DJALAL
Jubir Kepresidenan

Presiden minta agar kasus kematian TKW di Malaysia diusut secara tuntas, sesuai hukum yang berlaku. Sementara itu, Kedubes Malaysia dilempari tomat oleh para aktivis.

KEMATIAN Munti binti Bani (36), tenaga kerja wanita (TKW) yang meninggal di Malaysia akibat disiksa majikannya, membetot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang nomor satu di Indonesia ini meminta agar kasus kematian Munti diusut dan diselesaikan dengan adil sesuai hukum yang berlaku.

Permintaan SBY atas kasus kematian Munti itu disampaikan lewat juru bicara kepresidenan Dino Patti Djalal di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (28/10) sore. “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai, kasus penganiayaan hingga menyebabkan meninggalnya Munti di Malaysia harus diselesaikan dengan adil sesuai hukum yang berlaku. Yang penting, kita berharap ada keadilan yang ditegakkan. Kita sangat prihatin dengan kejadian itu,” kata Dino.

Ketika ditanya apakah dalam waktu dekat Presiden akan memanggil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dino mengatakan, hal ini akan dibahas saat Presiden berkunjung ke Malaysia pada November mendatang. “Tentu masalah TKI akan menjadi salah satu yang selalu dibahas antara kedua pemerintah,” kata Dino.

Kasus kematian Munti juga membuat Migrant Care, gundah. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini bergerak di bidang pembelaan tenaga kerja Indonesia (TKI) itu pada Rabu kemarin menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia di Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Di depan kantor Kedubes Malaysia itu, sedikitnya 50 aktivis Migrant Care menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan penderitaan Munti binti Bani TKW asal Jember, Jawa Timur yang tewas di tangan sang majikan di Malaysia.

Seorang aktivis perempuan berperan sebagai Munti. Dia disiksa serta diperlakukan kasar dua orang majikannya. Wajahnya lebam dipukul, kaki dan tangannya diikat. “Pukul saja pukul,” teriak seseorang aktivis yang berperan sebagai sang majikan. Munti lalu dimasukkan ke toilet sampai akhirnya meninggal dunia dan diberi kain kafan serta ditaburi bunga.

Munti meninggal Senin (26/10), setelah dirawat enam hari di RS Tengku Ampuan Rahimah, Selangor, Malaysia. Massa meminta pemerintah Malaysia bertanggung jawab atas kematian Munti. Pemerintah Indonesia juga didesak mengajukan kasus Munti ke proses hukum.

Massa juga membentangkan spanduk besar bertuliskan “Satu suara untuk Munti binti Bani tuntut keadilan” yang dipasang di pagar Kedubes Malaysia. Aksi yang dimulai pukul 09.00 mengakibatkan Jl HR Rasuna Said menuju Menteng tersendat. Para pengunjuk rasa menumpahkan rasa kekesalannya. Mereka mempertanyakan mengapa kasus kematian TKW akibat penganiayaan di Malaysia seakan-akan tidak pernah berakhir.

LSM Migrant Care juga meminta pemerintah Indonesia dapat segera menunjukkan sikap tegas dalam menghadapi kasus kematian Munti. Selain itu, Migrant Care juga sempat melempari pagar kedubes dengan tomat. Terdapat pula aksi teatrikal yang memperagakan para TKI yang sedang dianiaya oleh majikannya. “Ini kasus memrihatinkan. Dari hari ke hari semakin tak terurus, banyak TKW meninggal tapi pemerintah malah diam saja,” kata Direktur Migrant Care Anis Hidayah.

Sebelumnya, Menaker Malaysia S Subramaniam menegaskan, majikan Munti binti Bani akan menerima hukuman berdasarkan undang-undang atas perbuatannya menyiksa hingga korban meninggal. Subramaniam di Kuala Lumpur, Selasa (27/10) menegaskan, tak ada kompromi bagi majikan yang melakukan perbuatan tak berperikemanusiaan terhadap pembantunya. Ia mengaku kesal dengan kejadian ini dan menjamin adanya tindakan hukum kepada siapapun yang melakukan hal seperti itu. Peristiwa ini tidak seharusnya terjadi dan Pemerintah Malaysia memandang serius kekejaman terhadap pembantu.

Sementara tuntutan keluarga almarhumah agar jenazah segera dipulangkan ke Indonesia, hingga kini tampaknya juga belum ada kejelasan. Pasalnya, Kepolisian Malaysia masih memerlukan jenazah yang sudah terbujur kaku itu untuk keperluan otopsi. “Dalam sehari hingga dua hari ke depan, jenazah belum bisa dipulangkan, karena masih dalam proses visum,” jelas Kepala Humas Depnakertrans Sumardoko kepada Berita Kota, Rabu (28/10). O did

Sumber: Berita Kota

Rabu, 28 Oktober 2009

Keluarga TKW (Muntik Binti Bani) Tuntut Malaysia




“Penyiksaan ibu kami itu merupakan pelecehan bagi bangsa Indonesia yang bekerja di Malaysia.”
MARIONO
Anak Pertama Munti

Kekerasan yang dilakukan oleh sang majikan hingga mengakibatkan Munti tewas saat bekerja sebagai pembantu di Malaysia, sangat tidak manusiawi. Munti disekap, tidak diberi makan, dan dipukuli hingga mengalami patah tulang.

KELUARGA Tenaga Kerja Wanita (TKW) Munti binti Bani asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, mendesak majikan Munti untuk meminta maaf secara resmi kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bangsa Indonesia.

“Harapan kami, majikan yang melakukan penyiksaan terhadap Munti meminta maaf secara resmi kepada Presiden SBY dan bangsa Indonesia atas perbuatan keji yang dilakukannya kepada TKI,” kata anak pertama Munti, Mariono, saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (27/10).

Menurut Mariono, kekerasan yang dialami ibunya itu sangat tidak manusiawi karena ibunya disekap dan dipukuli hingga mengalami patah tulang di sejumlah bagian anggota tubuhnya. “Perbuatan penyiksaan itu merupakan pelecehan bagi bangsa Indonesia yang bekerja di Malaysia sehingga majikan yang bersangkutan harus meminta maaf secara resmi,” katanya.

Ia khawatir ada Munti-Munti lain yang menjadi korban penyiksaan majikan di Malaysia sehingga pemerintah Indonesia harus bertindak tegas atas kasus kekerasan yang menimpa TKI yang bekerja di Malaysia. “Kami tidak ingin kejadian yang dialami oleh ibu terulang kembali pada TKW lainnya,” katanya.

Suami Munti, Suparmo, mengaku pernah mendapat telepon dari istrinya yang menceritakan tentang penyiksaan majikan Munti pertama yang bernama Wah Hoi Cit Wan di Selangor, Malaysia. “Istri saya pernah dipukuli oleh majikan yang pertama, kemudian Munti ganti majikan, namun ia mendapat penyiksaan yang lebih parah,” katanya.

Sementara itu, informasi yang diterima keluarga, jenazah Munti akan tiba di Bandara Juanda Surabaya pada Rabu (28/10) atau Kamis (29/10), selanjutnya jenazah tersebut akan dibawa ke rumah duka di Dusun Pondok Jeruk Barat, Desa Wringin Agung, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember.

Almarhum TKW Munti, meninggalkan seorang suami yang bernama Suparmo dan lima orang anak yang bernama Mariono, Siami, Citra, Hartono dan Suprihatin. Keluarga TKW Munti binti Bani berharap, jenazah Munti segera dipulangkan ke rumah duka di RT 3, RW 14, Dusun Pondok Jeruk Barat, Desa Wringin Agung, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember, Jawa Timur. “Permohonan kami hanya satu, yakni jenazah istri saya dapat dipulangkan secepatnya ke Jember,” kata suami Munti, Suparmo.

Pengacara

Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) organisasi yang selama ini paling keras menyuarakan kekerasan dan kekejaman yang dilakukan Malaysia terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengirim 5 pengacara ke Malaysia untuk memastikan proses hukum terhadap para tersangka berjalan dengan benar. Selain itu juga untuk memastikan hak-haknya sebagai pekerja dapat terpenuhi.

“Kelima pengacara itu kami kirim untuk menindaklanjuti kematian Manti. Mereka akan memantau dan memastikan proses hukum di sana berjalan,” tegas Koordinator Bendera Mustar Bonaventura kepada wartawan di markas Bendera di Jl Diponegoro No 58, Jakarta, Selasa (27/10).

Bendera menilai pemerintah bertindak lambat dalam merespons dan mengusut kematian pahlawan devisa itu. Karena itu, langkah ini bisa dibilang sebagai bentuk ketidak percayaan kepada Duta Besar Indonesia di Malaysia berikut jajarannya. “Ini ekspresi ketidakpercayaan kami terhadap pemerintah Indonesia yang lamban dan lunak dalam membela kepentingan WNI termasuk para TKI,” tandasnya.

Kegusaran juga melanda Migrant Care. Terkait kasus kematian Munti, Migrant Care berencana menggelar aksi unjuk rasa pada Rabu (28/10) hari ini di Kedubes Malaysia di Jakarta.
“Merespons kasus tersebut, kami dari Migrant CARE JAKERLA (Jaringan Kerja Layak untuk PRT) dan elemen lain, akan menggelar aksi mendatangi Kedubes Malaysia di Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/10) pukul 09.00. Kami satu suara untuk Munti binti Bani, yakni ’Menuntut Keadilan dan Menggugat Arogansi Malaysia,” tegas Executive Director Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta, Selasa kemarin.

Menurut Anis, kasus Munti merupakan salah satu bukti bahwa Pemerintah Indonesia telah melanggar MoU penghentian sementara pengiriman (moratorium) TKI ke Malaysia. Sebab, informasi yang didapat Migrant Care, Munti baru bekerja selama dua bulan di Malaysia. Adapun MoU penghentian pengiriman sementara TKI ke Malaysia mulai berlaku sejak 26 Juni lalu.

“Itu artinya Munti dikirim ke Malaysia saat MoU sudah berlaku. Ini artinya Indonesia tidak menaati sikap politik yang sudah dikeluarkan sendiri.

Atas insiden ini, Migrant Care selain mengecam majikan yang menyiksa Munti hingga tewas, juga menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang tak konsisten dengan kebijakan luar negerinya sendiri. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM serius dan sudah semestinya menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali moratorium penghentian TKI ke Malaysia,” ungkap dia.

Di tempat terpisah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyesalkan peristiwa yang menimpa Munti di Malaysia. Menakertrans berjanji akan membenahi sektor pengawasan terutama permasalahan TKI ilegal. “Kita sangat menyesal, kita akan awasi terus arus keberangkatan TKI, karena arus ilegal masih tinggi,” ujarnya saat ditemui di kantor Menko Kesra.

Tidak hanya itu, pria yang akrab disapa Cak Imin tersebut juga akan melakukan negosiasi dengan Malaysia, membahas persoalan perlindungan Tenaga Kerja khususnya yang berasal dari Indonesia. “Saya segera meluncur ke Malaysia bulan depan, negosiasi membahas perlindungan,” paparnya. O ant/dir/one

Sumber: Berita Kota

Menakertrans Sidak ke Teminal TKI


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar inspeksi mendadak (sidak) ke Terminal Tenaga Kerja Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, Rabu (28/10). Ia menemukan tempat penerangan atau informasi penerbangan tidak memadai dan meminta segera dibuatkan.

Menakertrans juga mendatangi Gedung Pendataan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Ia menemukan TKI yang telah beberapa hari, bahkan belasan hari tidak juga dipulangkan ke kampung halaman. Kerinduan mereka terhadap sanak keluarga di kampung tertahan di gedung tersebut. Petugas hanya berjanji dan meminta agar TKI menunggu dan segera dipulangkan ke kampung halaman.

Salah seorang TKI bernama Cantika mengaku telah 13 hari berada di Gedung Pendataan BNP2TKI. Ia tak juga diberangkatkan ke kampung halaman, padahal anaknya sedang sakit. Karena itulah, Muhaimin meminta pihak perusahan perjalanan agar memberangkatkan TKI ke kampung halaman. Pihak asuransi harus menjalankan tugas memulangkan TKI. Ia berjanji akan mengusut dan membekukan izin perusahaan yang nakal.(BEY/Pahrul Roji)

Sumber: Metro TV